Cerpen: Michelangelo - Mengukir Langit 2 (Lanjutan)
Lanjutan...
Jalan Menuju Sebuah Tugas Agung
Langit Roma menyala dengan semburat merah keemasan saat
senja tiba. Di kota yang sibuk ini, Michelangelo berjalan melewati gang-gang
sempit, pikirannya dipenuhi pertanyaan dan keresahan. Selama beberapa bulan
terakhir, ketenangan hidupnya terusik oleh desas-desus dari Vatikan. Paus
Julius II, pemimpin Gereja yang terkenal tegas, merencanakan sesuatu yang
besar. Di antara para seniman dan pengrajin di Roma, berita tentang proyek baru
sang Paus sudah menjadi rahasia umum. Tetapi, detail dan tujuan proyek itu masih
diselimuti misteri.
Di sebuah kedai anggur yang ramai di Piazza Navona, Michelangelo
bertemu dengan beberapa seniman lainnya. Aroma anggur tua dan roti panggang
mengisi udara, sementara suara obrolan bercampur dengan musik lirih yang
dimainkan oleh seorang pemusik jalanan. “Kau dengar apa yang dikatakan
orang-orang?” seorang pelukis bernama Raphael bertanya, menggeser kursinya
lebih dekat ke meja. Matanya penuh rasa ingin tahu, dan suaranya hampir
tenggelam di antara keramaian.
“Apa lagi kalau bukan tentang proyek besar Vatikan?”
Michelangelo menjawab, mengambil seteguk anggur yang membuat pikirannya sedikit
lebih tenang. Raphael mengangguk. “Kabarnya, Paus ingin merombak Kapel Sistina.
Tapi apa yang akan dia lakukan, masih teka-teki,” tambah Raphael sambil
memandang Michelangelo dengan tatapan penuh harap.
Michelangelo menghela napas, menatap ke dalam gelas
anggurnya. Pikirannya melayang pada patung "David" yang baru saja
selesai ia buat di Firenze. Karya itu telah membawanya ke puncak karier, tetapi
juga mengikatnya pada ekspektasi yang tak terucap. Kini, tantangan baru
tampaknya sedang menunggunya di Roma.
Beberapa hari kemudian, ketika matahari baru saja terbit di
balik bukit-bukit di luar Roma, Michelangelo menerima panggilan untuk menghadap
Paus Julius II di Vatikan. Perjalanan ke Vatikan dipenuhi dengan kegelisahan
dan spekulasi. Langkahnya terasa berat saat dia melewati halaman-halaman istana
yang megah, dikelilingi oleh arsitektur yang menjulang dan patung-patung yang
tampak hidup.
Di ruang audiensi yang luas, Paus Julius II menunggunya.
Ruangan itu terasa dingin, dengan dinding-dinding batu yang memantulkan suara langkah
kaki. Paus, seorang pria dengan wajah berkerut dan mata yang tajam, menatap
langsung ke arahnya. “Michelangelo,” ucapnya, suaranya bergema di ruangan yang
sepi. “Gereja membutuhkan keahlianmu. Aku ingin kau melukis Fresko di langit-langit
Kapel Sistina.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Michelangelo terkejut,
hampir tidak percaya dengan permintaan itu. “Yang Mulia, saya seorang pematung,
bukan pelukis,” dia berusaha menolak dengan nada hormat tapi tegas. Dia tahu,
bahwa proyek ini bukan hanya tugas, tetapi juga beban besar yang akan menguji
batas kemampuan dan kesabarannya.
Paus Julius II tidak bergeming. “Gereja membutuhkan tangan
terbaik untuk proyek ini,” katanya dengan nada otoritatif yang mengakhiri semua
argumen. Michelangelo merasakan tekanan dari tatapan sang Paus yang menembus
jauh ke dalam dirinya. Dia tahu bahwa menolak bukanlah pilihan.
Setelah pertemuan itu, Michelangelo berjalan keluar dari
Vatikan dengan perasaan campur aduk. Pikirannya dipenuhi keraguan, tetapi juga
tantangan yang menggugah. Di sepanjang perjalanan pulang, dia merenungkan beban
tugas yang baru saja diterimanya. Ini adalah kesempatan untuk menciptakan
sesuatu yang monumental, tetapi juga potensi risiko yang bisa menjatuhkan
reputasinya.
Michelangelo berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan
menghadapi tantangan ini dengan segala daya dan upaya. Keberanian dan keteguhan
hatinya akan menjadi pemandunya dalam perjalanan baru ini. Dia menyadari, di
dalam diri setiap seniman, ada suara yang tak dapat dibungkam oleh keraguan
atau ketakutan, sebuah suara kreativitas yang menuntut untuk diekspresikan. Dan
di sinilah, di balik dinding-dinding Kapel Sistina, dia akan mendengarkan suara
itu, dan menciptakan mahakarya yang akan dikenang dunia sepanjang masa.
Kapel Sistina
Beberapa hari kemudian, Michelangelo berdiri di tengah
Kapel Sistina, menatap langit-langit luas yang kosong. Ruangan itu sunyi,
kecuali gema langkahnya yang terpantul dari dinding-dinding marmer. Di tengah
kesunyian, dia merasakan beban harapan dan tuntutan yang menekan pundaknya.
Pekerjaan ini bukan sekadar tentang seni. Ini adalah tentang memenuhi mandat
dari seorang Paus.
Hari-hari berlalu. Michelangelo mulai memanjat perancah
tinggi, di mana dia menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari. Tangan-tangannya
berlumuran cat, tubuhnya lelah, tetapi pikirannya dipenuhi visi tentang
penciptaan dan penghakiman. Di tengah ketegangan dan keraguan, muncul inspirasi
dari kedalaman jiwanya. “Penciptaan haruslah melambangkan kekuatan dan kasih
Tuhan,” gumamnya saat tangannya menari di atas langit-langit.
Waktu terus berlalu. Proyek ini menguras tenaga dan
pikirannya. Tidak jarang, Michelangelo dan Paus Julius II berselisih paham
tentang detail-detail fresko. “Cepatlah menyelesaikannya, Michelangelo!” Paus
mendesak dalam sebuah pertemuan, suaranya penuh dengan harapan. Michelangelo,
yang telah terbiasa dengan kritik, tetap tenang. “Yang Mulia, sebuah mahakarya
tidak bisa terburu-buru,” jawabnya, menahan emosi yang berkecamuk dalam
dirinya.
Setiap inci langit-langit mengisahkan pergulatan antara
ketekunan dan tuntutan. Michelangelo menggambarkan Penciptaan Adam dengan
sentuhan tangan Tuhan yang hampir menyentuh manusia. Detail itu menggambarkan
hubungan yang intim dan sakral antara pencipta dan ciptaan-Nya. Di sisi lain,
dia melukis Penghakiman Terakhir dengan dramatis, menunjukkan pemandangan yang
menggugah, tentang manusia yang diadili berdasarkan perbuatannya.
Saat pekerjaan itu mendekati akhir, Michelangelo memandang
hasil karyanya dengan kelelahan yang membuncah. Fresko itu menjadi saksi bisu
dari dedikasi dan determinasi yang luar biasa. “Apakah ini yang diinginkan
Tuhan?” tanyanya kepada dirinya sendiri, suara hatinya lirih di antara
keheningan kapel.
Akhirnya, ketika fresko selesai, masyarakat Roma diundang
untuk melihatnya. Mereka terdiam dalam kekaguman. Mereka berbisik-bisik, memuji
detail dan keindahan setiap bagian. "Ini adalah keajaiban," ujar
seorang pria tua, dengan rasa penuh kekaguman.
Paus Julius II sendiri datang ke kapel, berdiri di tengah
ruangan, menatap ke atas dengan mata terbelalak. “Michelangelo, Anda telah
melampaui harapan saya,” katanya, suaranya lembut, penuh
kekaguman.
Lorenzo de’ Medici, meski jauh di Firenze, mendengar kabar
tentang fresko itu. Dalam suratnya kepada Michelangelo, dia menulis, “Roma
telah menjadi kanvas bagi bakatmu yang tak tertandingi. Kami semua bangga
padamu.”
Sementara itu, Leonardo da Vinci, dari kejauhan, mendengar
tentang keindahan fresko tersebut. Dalam sebuah diskusi dengan murid-muridnya,
ia berkata, “Michelangelo telah menunjukkan kepada kita semua, bagaimana batas
seni dapat dipecahkan.”
Kapel Sistina, dengan langit-langitnya yang baru, menjadi
lebih dari sekadar tempat ibadah. Ia adalah simbol dari perjuangan seorang
seniman melawan keterbatasan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam
dirinya sendiri. Michelangelo telah menulis sejarah dengan kuasnya, dan dunia
akan selamanya mengingatnya.
Michelangelo: Kisah Cinta, Persahabatan, dan Pengorbanan
Di kota Roma, ketika langit berubah menjadi ungu saat
senja, Michelangelo berdiri di tengah Kapel Sistina. Di sekelilingnya, fresko
yang mengagumkan menyelimuti dinding dan langit-langit kapel. Gambaran
Penciptaan dan Penghakiman Terakhir, bersinar dengan kemegahan dan kekuatan.
Michelangelo menghela napas, matanya menelusuri setiap detail yang telah dia
buat dengan sepenuh jiwa.
Suatu malam, ketika rembulan tinggi di atas Roma,
Michelangelo duduk bersama teman dekatnya, seorang penyair bernama Vittoria
Colonna. Mereka berbincang di taman yang diterangi cahaya lilin. Angin
sepoi-sepoi membawa aroma mawar dari taman. “Kau tahu, Michelangelo,” ujar
Vittoria, “karyamu bukan hanya tentang kecantikan, tetapi juga
tentang jiwa. Setiap goresan kuasmu adalah bukti cinta yang tak terucapkan.”
Dan semua perjalanan karir yang dilaluinya ini, bukanlah
tanpa pengorbanan. Michelangelo harus meninggalkan banyak hal demi mengabdikan
dirinya pada seni. Waktu dan tenaganya terkuras. Sering kali dia harus bekerja
hingga larut malam di bengkel yang sepi. Ketika orang lain tertidur, dia masih
berdiri di depan patung atau kanvas, mencari kesempurnaan yang tidak pernah dia
anggap cukup.
“Ini bukan sekadar pekerjaan,” gumamnya suatu malam,
tangannya berhenti mengukir. “Ini adalah panggilan jiwa, sesuatu yang harus aku
lakukan, walau harus mengorbankan segala kenyamanan.”
Di akhir hidupnya, ketika rambutnya mulai memutih dan
tangannya tak lagi sekuat dulu, Michelangelo tetap berdiri sebagai simbol
dedikasi dan cinta terhadap seni. Kapel Sistina menjadi mahakarya yang
mengguncang dunia, sebuah pernyataan kekuatan imajinasi manusia yang abadi. Di
sana, di bawah langit-langit yang dihiasi dengan fresko-fresko megah,
Michelangelo meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam sejarah seni.
TAMAT..