Buku harian dari Praha: Kisah romansa Gadis Cekoslowakia dan pemuda Indonesia

Ilustrasi Cerpen Romansa: Buku harian dari praha

Arya Menemukan Sebuah Buku Harian Tua

Arya, seorang arsitek muda sedang berada di Praha untuk mengerjakan proyek restorasi pada sebuah bangunan bersejarah. Setiap sudut kota itu, penuh dengan cerita, tetapi tidak ada yang membuatnya sangat terkesan seperti penemuannya kali ini. Di sana, Arya menemukan sebuah buku harian yang membawanya ke tahun 1968, ketika musim semi Praha beralih menjadi musim gugur yang tampak kelam.

Langit Praha berwarna kelabu, menggantung rendah seakan siap menumpahkan segala kesedihannya. Di sudut ruangan yang remang-remang, temaram sinar matahari yang menerobos lewat celah jendela berdebu, Arya berdiri merenung. Bangunan tua di distrik Malá Strana ini memancarkan aura sejarah yang begitu kuat, seakan-akan setiap retakan di dindingnya adalah saksi bisu dari kisah-kisah yang terlupakan. Dalam tugasnya sebagai arsitek, dia telah terbiasa dengan penemuan artefak-artefak kecil. Tetapi kali ini, sesuatu yang berbeda menarik perhatiannya.

Di balik dinding yang mulai mengelupas, tersembunyi di antara reruntuhan batu bata yang rapuh, Arya menemukan sebuah pena kuno dan buku harian usang. Penemuan ini seakan-akan mengisyaratkan sebuah rahasia yang telah lama tersembunyi. Sebuah rahasia yang menunggu untuk ditemukan. Pena tersebut terbuat dari logam yang telah berkarat, tetapi tetap memancarkan keanggunan masa lampau. Bentuknya elegan, dengan ukiran halus yang menunjukkan jejak tangan pembuatnya, mungkin seorang seniman yang telah lama pergi.

Arya memegang pena itu dengan hati-hati, merasakan dinginnya logam yang menyentuh kulitnya. Dia bisa merasakan seolah-olah pena itu menyimpan beban emosional dari pemiliknya. Di sebelahnya, buku harian dengan sampul kulit yang sudah mengelupas menanti untuk dibuka. Setiap lembarannya berwarna kekuningan, menunjukkan tanda-tanda penuaan yang tak terelakkan. Debu-debu halus berhamburan saat Arya membuka halaman pertama, seolah-olah setiap butirnya menceritakan kisah yang telah terlupakan.

Dalam keheningan yang sakral itu, Arya mulai membaca tulisan tangan yang menghiasi halaman-halaman buku harian tersebut. Tulisan itu indah, melengkung dengan anggun, seakan setiap kata adalah puisi yang terangkai dari perasaan terdalam. Setiap kalimat yang dibacanya membawa Arya ke dalam dunia yang berbeda, dunia di mana cinta dan kesedihan bertemu dalam harmoni yang melankolis.


12 Maret 1968

Hari ini, aku bertemu dengan Bima di kafe kecil di sudut Charles Bridge. Dia adalah diplomat dari Indonesia, penuh pesona dan kehangatan. Kami berbicara tentang seni, budaya, dan kehidupan. Di balik senyumnya, aku melihat sesuatu yang lebih dalam. Sebuah rahasia, sebuah kesedihan yang hanya bisa dipahami oleh seseorang yang jauh dari rumahnya.


25 April 1968

Bima mengajakku ke rumahnya. Kami menghabiskan malam dengan berdansa di bawah cahaya bulan. Di antara tawa dan canda, aku merasa ada sesuatu yang akan memisahkan kami. Bima berbicara tentang tugasnya, tentang kembali ke Jakarta. Hatiku remuk, tetapi aku menyembunyikan air mataku. Aku tahu, cinta kami seperti pena ini, terukir dalam tinta namun akan pudar oleh waktu.


1 Mei 1968

Bima datang hari ini dengan wajah yang penuh beban. Dia memberitahuku tentang keputusan mendadak yang diambil atasannya. Sebagai diplomat, Dia harus kembali ke Jakarta lebih cepat dari yang direncanakan. Hatiku tersayat mendengar kabar itu. Malam itu, kami duduk di bawah langit berbintang, berbicara tentang masa depan yang tidak pasti. Aku merasakan cintanya yang begitu dalam, tetapi juga rasa kehilangan yang semakin mendekat.


5 Mei 1968

Hari ini kami berjalan di sepanjang Sungai Vltava, merasakan angin yang dingin menerpa wajah kami. Bima mengisahkan tentang keluarganya di Jakarta, tentang tanggung jawab yang harus Dia pikul. Aku tahu, tugas dan kewajiban menantinya di sana, dan aku tidak bisa menjadi penghalang bagi impian dan masa depannya. Meski hatiku ingin berteriak, aku hanya bisa tersenyum dan menyemangatinya. Cinta kami terasa begitu dekat namun juga terasa begitu jauh.


10 Mei 1968

Kami menghabiskan waktu bersama di Katedral St. Vitus, menikmati keindahan arsitektur dan seni. Bima bercerita tentang rencananya di Jakarta, tentang harapannya untuk memajukan negaranya. Aku bangga padanya, namun di saat yang sama, aku merasakan luka yang semakin dalam. Malam itu, kami berbicara panjang lebar tentang kemungkinan untuk tetap bersama, tetapi realita yang ada seolah menghalangi semua mimpi indah kami. Kami tahu bahwa perpisahan ini adalah jalan yang harus kami tempuh.


15 Mei 1968

Bima dan aku mengunjungi kastil Praha, tempat di mana banyak kenangan manis terukir. Setiap sudut kota ini mengingatkanku pada saat-saat bahagia bersama Bima. Namun, bayangan perpisahan selalu membayangi. Bima mengatakan bahwa dia akan selalu mencintaiku, meski jarak dan waktu memisahkan kami. Hatiku hancur mendengar kata-katanya, tapi aku tahu bahwa cinta kami harus kuat menghadapi ujian ini.


20 Mei 1968

Hari ini, kami menulis surat satu sama lain, mencoba mengekspresikan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Aku menulis tentang betapa aku mencintainya, betapa aku akan merindukan senyumnya, tawa dan kehangatannya. Bima menulis tentang betapa dia menghargai setiap momen yang kami lewati bersama, tentang bagaimana aku telah mengisi hatinya dengan cinta yang tulus. Surat-surat itu adalah bukti cinta kami yang abadi, meski kami tidak bisa bersama.


25 Mei 1968

Kami berjalan di Charles Bridge, tempat di mana kami pertama kali bertemu. Bima memelukku erat, seakan tidak ingin melepaskanku. Aku merasakan air matanya jatuh di pundakku. Dalam keheningan itu, kami tahu bahwa perpisahan ini adalah yang terbaik untuk masa depan kami. Dengan hati yang penuh luka, kami mengucapkan selamat tinggal, berharap suatu hari nanti takdir akan mempertemukan kami kembali. Cinta kami tetap hidup, tertulis dalam setiap lembar buku harian ini, mengalir bersama waktu.


Mata Arya berkaca-kaca. Dia bisa merasakan kehadiran wanita itu, seolah-olah ia berdiri di sampingnya, menyaksikan saat-saat yang telah berlalu. Setiap kata dalam buku harian tersebut membentuk gambar yang begitu hidup di benaknya. Arya kembali ke paragraf berikutnya.

15 Juni 2024

Namaku Arya. Aku seorang arsitek dari Jakarta, sedang bekerja di Praha. Aku menemukan buku harian ini dan cerita tentang Bima. Hatiku terguncang oleh takdir cinta kalian. Adakah kau masih di sini, di balik jendela ini, atau di mana saja, menyaksikan saat aku membaca buku harianmu?


Seketika, pena itu bergerak dengan sendirinya. Arya mundur, terkejut namun penasaran. Perlahan, tiba tiba tulisan muncul di halaman yang kosong.


16 Juni 1968

Arya, aku di sini. Namaku Eva. Cinta kami tidak berakhir di sini, namun berlanjut dalam setiap kata yang kutulis. Bima meninggalkanku, namun cinta kami abadi. Melalui buku harian ini, aku berharap kau bisa merasakan apa yang kurasakan. Temukanlah cintamu, Arya. Jangan biarkan waktu mencuri kebahagiaanmu.


Air mata Arya menetes di atas halaman itu. Dia merasakan kehadiran Eva, jiwa yang terjebak dalam nostalgia dan cinta yang tak pernah pudar. Arya menutup buku harian itu dengan lembut, seakan menyimpan jiwa Eva di dalamnya. Dia berjanji akan membawa buku harian tersebut ke Jakarta, menemui keluarga Bima dan menyatukan kembali cerita cinta yang terpisah oleh waktu.

Matahari mulai terbenam di langit Praha. Arya memandang ke luar jendela, merasakan angin dingin yang membawa aroma sejarah dan cinta. Di balik jendela itu, Dia menemukan lebih dari sekedar bangunan tua. Ia menemukan cinta yang abadi, tertulis dengan pena dan air mata, mengalir dari masa lalu hingga masa kini.

Jakarta, 08 July 2024

www.duniacerita.web.id