Sindiran Mas Adipati: Cerita Satir di Balik Komunikasi Politik
Jaman dahulu kala ada sebuah kerajaan besar, yang memiliki wilayah yang sangat luas. Negeri ini, secara administratif, memiliki lebih dari 30 Kadipaten. Kadipaten adalah wilayah otonom setingkat Propinsi (jaman sekarang).
Salah satu
dari Kadipaten itu, adalah Ibukota Negara, dipimpin oleh seorang Adipati bergelar Bre Teleng. Bre adalah
gelar untuk penguasa wilayah otonom setingkat propinsi, sedangkan Teleng artinya pusat. Itu
artinya, Bre Teleng adalah gelar untuk penguasa kawasan Ibukota Kerajaan.
Bre Teleng,
pada waktu itu adalah seorang Adipati yang sangat ahli dalam urusan
pembangunan, baik fisik, spiritual maupun psikologis. Pembangunan di kawasannya
dinilai oleh banyak kalangan berhasil menaikkan level Ibukota Kerajaan menjadi
salah satu kota yang disegani dunia. Bahkan beliau juga mendapatkan puluhan
penghargaan di berbagai bidang, dari dalam negeri maupun internasional.
Hingga pada
suatu hari, masa jabatan Maha Patih akan segera berakhir. Menurut konstitusi
kerajaan, Maha Patih harus dipilih lagi setiap 5 tahun sekali, dan dapat dipilih kembali, tetapi terbatas hanya 2
periode saja.
Melihat
prestasi dari Bre Teleng yang cemerlang dalam memimpin Kadipaten, banyak
masyarakat yang mendukungnya untuk menjadi Maha Patih periode tahun depan.
Dukungan datang dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat biasa hingga para
tokoh politik negeri.
Menurut konstitusi , otonomi daerah ada di pemerintahan desa, yang dipimpin oleh para Lurah. Itulah sebabnya, Musyawarah Kerajaan pada waktu itu didasarkan pada Musyawarah Desa.
Musyawarah desa dianggap sebagai “suara rakyat”. Itulah sebabnya,
setiap keputusan Raja akan didasarkan pada hasil “Musywarah Desa”.
Hasil musyawarah dari ribuan desa yang ada di kerajaan, akan dijadikan dasar dan arah pembangunan kerajaan.
Dalam hal
ini, pemilihan Maha Patih kerajaan juga didasarkan dari usulan desa. Setiap desa
berhak mengajukan seorang calon. Calon yang diusulkan Desa, dipilih dalam mekanisme “musyawarah
Desa”, yang dipilih secara mufakat.
Para calon Maha Patih yang diusulkan dari desa desa itu, kemudian diajukan ke Dewan Permufakaran Kerajaan, yang terdiri dari wakil yang berasal dari desa desa, Kadipaten kadipaten, Kabupaten (setingkat kota), serta wakil dari para bangsawan.
Dewan permufakatan
Kerajaan kemudian akan memilih 5 orang calon (bisa kurang, tetapi tidak boleh
lebih) yang diusulkan dari desa desa itu, untuk dijadikan Calon Maha Patih
dalam pemilihan, yang dilakukan di desa desa.
Dalam
pemilihan Maha Patih itu, satu desa satu suara. Setiap desa harus menentukan
pilihannya dalam “musyawarah desa”.
Pemilihan
Maha Patih dilakukan dalam 2 periode. Periode pertama, memlilih 2 orang calon. Periode ke 2 menenentukan Maha Patih. Tetapi, jika dalam pemilihan pertama ada calon
yang mendapatkan suara 50% + 1, maka pemilihan hanya
dilakukan satu tahap saja.
Kembali ke Susana
politik, satu tahun menjelang Pemilihan Maha Patih…
Ternyata,
tidak hanya Bre Teleng saja yang mendapat dukungan rakyat. Ada beberapa tokoh yang mendapat dukungan, Salah satunya adalah
Bre Tengah.
Ada sebuah
kadipaten besar di wilayah tengah kerajaan, yang dikenal sebagai kadipaten
Panengah. Kadipeten ini dipimpin oleh seorang Adipati bergelar Bre Tengah.
Bre Tengah dianggap
populair, baik hati dan tidak sombong. Beliau sering muncul di bebagai cerita
yang dituturkan oleh para seniman sastra. Beliau dianggap tokoh yang jujur.
Walaupun ada beberapa “koruptor” yang bersaksi, atas keterlibatannya dalam kejahatan
terhadap keuangan kerajaan. Tetapi, pihak kerajaan tidak pernah mengusut
keterlibatannya.
Seperti
halnya Bre Teleng, Bre Tengah juga didukung oleh masyarakat hingga politisi
negeri. Tidak hanya itu. Bre Tengah juga tampak memiliki dana yang ”tak terbatas”
sehingga banyak yang bilang, beliau sangat dermawan, membagi bagikan “paket
makanan” kepada masyarakat, menjelang pemilihan Maha Ptih.
Tetapi,dalam
hal prestasi, banyak masyarakat yang menganggapnya kurang berhasil, dibandingkan
Bre Teleng. Hal ini mungkin didasarkan pada banyaknya prestasi yang diraih Bre
teleng dalam membangun wilayahnya.
Sebenarnya
membandingkan prestasi sebuah wilayah yang memiliki “Dana berlimpah” dengan
wilayah yang “minim dana” adalah tidak adil. Bre Teleng memimpin wilayah di
kawasan ibukota, jadi dananya sangat berlimpah. Wajar jika pembangunan yang
dilakukannya lebih banyak dibanding dengan Kadipten Panengah.
Tetapi, Para
pendukung Bre Teleng berkata,” Bre Teleng memiliki konsep yang jelas, dan
berpihak kepada masyarakat”.
Melihat
dukungan rakyat terhadap Bre Teleng, Bre Tengah tidak tinggal diam. Selain
pencitraan pencitraan, dengan menampilkan kesederhanaan, makan nasi pecel,
ngobrol dengan wong cilik, dan berbagai retorika moral, dia juga mulai menampilkan
prestasinya.
“orang harus
tahu prestasi dan keterpihakan saya pada rakyat’, Katanya Dalam hati.
Hingga pada
suatu hari, beliau berkata, bahwa beliau telah memberikan bantuan kepada para
guru agama di kadipaten panengah.
“Bukan hanya
membangun tempat ibadah lho, saya juga memberi bantuan kepada orang orangnya.
Saya juga memberikan bantuan kepada para guru agama”,Kata Bre Tengah.
Kemudian
beliau menandaskan, bahwa, walaupun daerahnya “miskin dana’ beliau melakukannya.
“tidak
seperti Kadipaten Ibu Kota. Apakah mereka melakukannya?,” Katanya sambil
menyindir kadipatren sebelah.
Ternyata Bre
Tengah kurang evalusai. Kadipaten Ibukota bahkan sudah membuat perad (Peraturan
adipati), agar pemerintah Kadipaten memberikan hibah sebesar 1000 Kepeng (mata
uang jaman itu) kepada para guru agama di wilayah kadipaten Teleng.
Jadi Bre teleng menyalurkan anggaran pembangunan kadipaten kepada para guru agama itu, berdasarkan konstitusi. Yang dituangkan ke dalam peraturan Adipati.
Melihat sindiran Bre Tengah kepada Bre Teleng, masyarakat menjadi jengah. Bre Teleng dianggap “kurang piknik”.
"Mainnya kurang jauh," sindir salah satu tokoh di suatu desa.
Bantuan yang dberikan kepada guru agama di Kadipaten Panengah hannya 10% saja dibanding bantuan kepada para guru agama di kadipaten IBu Kota.
Seharusnya
sebelum mengkritik kubu sebelah, dilakukan penelitian terlebih dahulu. Hal ini dianggap sebagai sebuah kelemahan
dari seorang pemimpin.
“Apa gunanya
saling menyalahkan antar tokoh? Sebaiknya para tokoh memberikan contoh tentang
toleransi dan rasa saling menghiormati. Memberikan rasa tenang bagi masyarakat,”
Kata seorang tokoh, mensikapi suhu politik menjelang Pemilihan Maha Patih di
negeri itu.
Memang polarisasi tampak nyata di Kerajaan itu. Berbagai isu yang memecah belah kerajaan, dihembuskan, entah dari mana asalnya....
Handoyoputro
Mind Navigator / Story teller
Posting Komentar untuk "Sindiran Mas Adipati: Cerita Satir di Balik Komunikasi Politik"